Komisi Penentuan Umum (KPU) putuskan memberikan sarana buat peserta pemilu 2019 untuk berkampanye melalui iklan pada media daring (online) dengan beberapa ketetapan. Komisioner KPU Wahyu Setiawan menjelaskan jika peserta pemilu yang akan difasilitasi oleh KPU cuma calon presiden serta calon wakil presiden, parpol peserta pemilu, calon anggota DPD serta partai lokal Aceh. Sedang, calon legislatif DPR RI, DPRD Propinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota disilahkan beriklan dengan mandiri. Jasa kampanye online bisa menjadi solusi untuk kamu. "Jadi, awalnya kita tidak fasilitasi media daring. Kita putuskan fasilitasi iklan pada media daring sebab zaman beralih serta pemakai daring cukup relevan," tutur Wahyu dalam rapat kelanjutan Bahasan Agenda Kampanye Rapat Umum serta Publikasi Sarana Iklan Kampanye di Media Massa, di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2019). Wahyu menerangkan beberapa ketetapan tehnis yang perlu dipenuhi tiap peserta pemilu, yakni, dibatasi cuma 21 hari tampil, serta cuma satu spanduk untuk lima media berlainan. "Untuk media daring terbanyak satu spanduk, lima media serta paling lama 21 hari. Ini difasilitas dari KPU," kata Wahyu. Sebatas info, peraturan ini dibikin berdasar input dari perwakilan peserta pemilu. Awalnya, KPU cuma memfasilitasi iklan kampanye pada media bikin, tv, serta radio. Iklan kampanye di mass media berlaku mulai 24 Maret sampai 13 April 2019, sebelum waktu tenang yang diawali semenjak 14 April 2019.
0 Comments
Kualitas buku tidak selamanya berbanding lurus dengan harga. Buku yang bernilai murah belum pasti didalamnya murahan. Kesan-kesan itu yang ada saat (baru) membaca buku seri strategi kebudayaan dengan judul Momen Yogya 1992: Strategi Politik Massa Rakyat Kota terbitan Kanisius serta LSR (Instansi Studi Realino). jasa kampanye online bisa menjadi solusi untuk kamu. Buku itu murah (harga) sebab diedarkan tahun 1993 (cetakan pertama) serta baru saja dibeli 17 tahun selanjutnya, pada tahun 2010. Itu juga dalam satu acara ‘cuci gudang’ penerbit Kanisius di Yogyakarta. Adalah satu kebetulan, saat itu penulis bersama dengan Mahasiswa Pendidikan Bahasa serta Sastra Indonesia FKIP Kampus Jember angakatan 2009 sedang KKL ke Yogya. Buku karya Budi Susanto itu bercerita momen Yogya 1992, yakni momen kampanye untuk golput, tidak untuk pilih satu dari tiga OPP (organisasi peserta pemilu). Kampanye semacam ini adalah suatu yang tabu, di jaman Orde Baru. Bahkan juga adalah satu intimidasi keteraturan umum pada saat kampanye pemilu 1992 di Yogya. Pemilu 1992 dibarengi oleh dua partai (PPP serta PDI) dan satu kelompok (Golkar: Kelompok Karya). Golkar jadi partai (waktu itu tidak bisa disebutkan ‘partai’) penguasa dengan suport sumberdaya serta sumberdana yang besar adalah partai yang menang dengan suara mutlak pada pemilu 1987. Walau pada pemilu 1992 suara Golkar turun (pasti dibarengi kenaikan pencapaian suara PDI serta PPP) di Yogya, tetapi pencapaian suara Golkar masih paling tinggi.[1] Kenaikan pencapaian suara PPP serta PDI (mungkin) tidak terlepas dari mode kampanye yang (sangat terpaksa) dikerjakan oleh ke-2 partai itu. Jadi partai yang dianaktirikan bahkan juga di sejumlah wilayah dimusuhi oleh beberapa pamong praja (birokrat) serta tentara.[2] Dengan kondisi itu pasti keuangan PPP serta PDI tidak sebagus Golkar. Di Yogya poster-poster Golkar dibikin oleh tangan profesional dengan gambar yang bagus, sedang poster-poster PDI serta PPP dibikin sembarangan bahkan juga dari barang sisa oleh beberapa partisipan ke-2 partai itu. Satu diantara tulisan satu banner yang dibikin oleh partisipan PDI mengeluarkan bunyi: “biar teng pletot tetep PDI”. Dibawah tulisan itu ada gambar orang yang naik bis yang seperti hasil karya anak Paud serta TK dengan cat (kelihatannya) seadanya.[3] Kaitan dengan Pemilu 2014 Kondisi politik Indonesia sesudah reformasi tidak sama juga dengan jaman Orde Baru. Dalam produksi sinyal gambar atau banner kampanye saat ini pasti lebih hebat. Partai (semiskin apa pun) tentu dapat cetak baliho serta baner jadi alat peraga pemilu untuk mengampanyekan partai semasing. Keterjangkauan pengerjaan baner malah membuat jurang pemisah di antara partai serta konstituen dari golongan rakyat kecil terutamanya yang berada di pedesaan. Partai (semenjak pemilu 2004) semakin banyak memakai baner-baner yang di produksi dengan tehnologi mesin percetakan. Tidak manfaatkan ‘kreativitas rakyat’ seperti pemilu awalnya, 1999.[4] Mungkin warga telah makin apatis dengan semua parpol yang ada sekarang. Rakyat mungkin malas pilih bila tidak ada imbalan, baik berbentuk kaos, sembako, atau uang. Oleh karenanya, bila dana untuk pengerjaan baner dengan mesin percetakan diarahkan untuk bikin banner serta sinyal gambar partai dengan layanan ‘kreativitas rakyat’ semakin lebih efisien. Tidak hanya memberikan penambahan pendapatan buat rakyat umumnya -tidak selalu memberikan keuntungan buat konglomerasi percetakan- pemakaian layanan ‘kreativitas rakyat’ dalam membuat poster kampanye akan memberi dampak kedekatan psikologis. Mungkin gambar yang dibuat tidak sebaik yang diciptakan dengan mesin computer. Tetapi dengan kondisi yang ‘jelek’ serta tidak teratur malah akan memberi kesan-kesan jika partai itu merakyat serta betul-betul di dukung oleh rakyat. Selintas, unsur itu yang turut merubah penambahan pencapaian suara PDI serta PPP di Yogya pada Pemilu 1992. Rakyat (lebih persisnya: Partisipan) lebih memunyai rasa mempunyai pada partai. Selamat berkampanye! [1] Budi Susanto. 1993. Momen Yogya 1992: Strategi Politik Massa Rakyat Kota. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 62. [2] Di tanah HGU (Hak Untuk Usaha) PTP di dusun Mangaran Desan Sukamakmur Ajung Jember piranti dusun sampai desa bertindak diskriminatif hampir di semua bagian. Contohnya, dalam acara kerja bakti bila yang terlambat ialah orang NU (pasti PPP) dapat ditampar. Hal yang berbeda berlangsung bila yang terlambat ialah anggota Golkar. Pendiskriminasian berlangsung saat terdapatnya penarikan iuran dengan alasan untuk pembangunan jembatan atau lainnya. Orang PPP harus membayar tetapi orang Golkar harus tetapi pun tidak harus. Kebetulan dusun Mangaran adalah basis NU. [3] Lihat Budi Susanto, 1993 hlm. 56 [4] Pada pemilu 1999 pada saat itu penulis masih duduk di sekolah basic melihat pemakaian baner masih jarang-jarang. Yang banyak malah sinyal gambar partai yang dibikin oleh partisipan partai memakai cat pada kain atau pos siskamling. kampanye online bisa menjadi solusi untuk kamu. |
AuthorHi, Saya Putri Nisya. Semoga apa yang saya tulis bisa beremanfaat untuk anda semua. Archives
October 2019
Categories |